Kamis, 21 April 2016

BIOGRAFI AIDIT


AIDIT Dua wajah Dipa Nusantara
Ahmad Aidit lahir pada 30 juli 1923 di Jalan Belantu 3, Pangkallalang, Belitung. Ayahnya Abdullah Aidit dan Ibunya Mailan. Abdullah adalah mentri kehutanan, jabatan yang cukup bergensi di Belitung ketika itu. Mailan lahir dari keluarga ningrat Bangka Belitung. Ayah Mailan Ki Agus Haji Abdullah Rachman. Title “ki” pada nama itu mencirikan ia ningrat. Dia juga tuan tanah. Orang-orang Belitung menyebut luas tanah keluarga ini dengan ujung jari. Maksudnya, sejauh menunjuk, itulah tanah mereka. Adapun Abdullah Aidit, anak Haji Ismail, seorang pengusaha ikan yang makmur.
Selain mudah bergaul dengan tuan-tuan Belanda, nak-anak Abdullah juga gampang masuk Hollandsch Inlandsche School (HIS), sekolah menengah pemerintah Belanda ketika itu. Abdullah punya delapan anak, semuanya laki-laki. Dari perkawinan dengan Mailan, lahir Ahmad, Basri, Ibrahim (meninggal dunia ketika dilahirkan), dan Murad. Abdullah kemudian menikah lagi dengan Marisah dan melahirkan Sobron dan Asahan. Keenam anaknya itu menyandang nama belakang Aidit- nama keluarga. “namun bukan marga”, kata Ibaruru Aidit, putrid sulung D.N. Aidit. Dua anak lainnya, Rosiah dan Muhammad Thoib, adalah ank bawaan Marisah dengan suami sebelumnya.
Orang-orang di jalan Belantu mengenal Achmadd Aidit sebagai tukang azan. Seperti disebagian besar wilayah Indonesia saat itu, Belitung juga belum mempunyai pengeras suara guna mengumandangkan azan. “karena suara Bang Achmad keras, dia kerap diminta mengumandangkan azan”. Kata Murad Aidit.
SEJAK AWAL MEMBACA RISIKO
Aidit muda tertarik pada politik setibanya di Jakarta. Mendirikan Antar dan berganti nama. Pada  awal tahun 1936. Achmad berusia 13 tahun, baru lulus Hollandsch Inlandsche School (HIS). Iaberangkat ke Jakarta, sesampainya di Batavia, Achmad Aidit di tampung di rumah kawan ayahnya, Marto, seorang mantra polisi, di kawasan Cempaka Putih. Sayangnya pendaftaran MULO sudah ditutup ketika Aidit tiba di Batavia. Dia harus puas bersekolah di Middestand Handel School (MHS), sebuah sekolah dagang di jalan Sabang, Jakarta Pusat.
Karena terlalu aktif di luar sekolah, Aidit tidak pernah menyelesaikan pendidikan formalnya di MHS. Tida tahun di Cempaka Putih, Aidit pindah ke sebuah rumah di Tanah Tinggi 48, kawasan senen, Jakarta Pusat, ketika indekos di sini, Murad dating menyusul dari Belitung, jugaa untuk bersekolah di Jakarta.
Stuasi politik ibu kota yang gegap gempita sudah menarik minat Aidit sejak awal. Diapertama-tama bergabung dengan Persatua Timur Muda atau Pertimu. Perkumpulan ini dimotori Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo), di bawah pimpinan Amir Sjarifuddin dan Dr. Adenan Kapau Gani. Dalam organisasi inilah persinggungan Aidit dengan politik makin menjadi-jadi. Hanya dalam waktu singkat, Aidit diangkat menjadi Ketua Umum Pertimu.
Sekitar masa-masa itulah Achmad Aidit memutuskan berganti nama. Dia memilih memakai nama Dipa Nusantara biasa disingkat D.N. menurut adik-adiknya, pergantian nama itu lebih dipicu perhitungan politik Aidit. “dia mulai membaca resiko”, kata Murad. Sejak namanya berubah itu memang banyak yang tidak mengetahuiasal-usl Aidit. Ia sering disebut-sebut berdarah Minangkabau, dan D.N di depan namanya adalah singktan “Djafar Nawawi”. Proses perubahan  nama itu jiga tidak mudah. Abdullah, ayah Aidit tidak bisa dengan segera menerima gagasan anaknya. Abdullah dan Aidit bersurat suratan beberapa kali, sebelum akhirnya Abdullah menyerah. Ayah dan anak itu sepakat, nama D.N Aidit baru akan dipakai jika sudah ada pengesaha dari notaries dan kantor Blugerlijke Stand- atau catatan sipil.   
MEMINANG LEWAT SEPUCUK SURAT
Suatu sang di awal tahun 1946. Kantor majalah dua bulanan Bintang Merah di jalan Purnosari, Solo, dating dua orang gadis mahasiswi tingkat tigaPerguruan Tinggi Kedokteran di Klaten, 1946. Kantor majalah dua bulanan Bintang Merah di jalan Purnosari, Solo, dating dua orang gadis mahasiswi tingkat tigaPerguruan Tinggi Kedokteran di Klaten, Yogyakarta. Salah satunya bernama Soesanti.
Soesanti yang disapa Bolletje (kata Belanda yang berrti bundar) oleh teman-temannya beberapa hari kemudian, dengan kawan lain yang lebih banyak. Kali ini atas nama Sarekat Mahasiswa Indonesia. Mereka mengundang Aidit sebagai ketua Departemen Agitasi dan Propaganda Partai Komunis Indonesia Solo untuk memberikan “kuliah” soal politik dan keorganisasian. Karena urusan itula Soesati kerap bolak balik Klaten-Solo. Kunjungan berikutnya tak lagi ke kantor Bintang Merah, tapi ke kantor PKI di Jalaan Boemi 29. Dari pertemuan-pertemuan itulah, kata Hasan, hubungan Aidit dan Soetanti kian akrab. Padahal keduanyapun punya watak bertolak belakang.
Aidit yang slalu berbicara tentang politik dan revolusi, patriotism. Itulah yang membuat Soetanti kesengsem. Dalam ceramahnya, Aidit fasih mengutip filsafat Marxisme, mengurai revolusi Prancis dan Rusia, juga soal-soal politik mutakhir. Setiap kali Aidit berpidato, si bolle senantiasa menyimak di bangku belakang.
Suatu ketika, seusai pidato Aidit menghampiri Tanti, lalu menyerahkan sepucuk surat yang ditujukan kepada Bapak Moedigdo, ayah Tanti, seorang kepala polisi Semarang yang aktif di Partai Sosialis Indonesia. Surat itu ternyata lamaran. Aidit menyampaikan niat meminang Soetanti. Moedigdo langsung setuju.
Maka awal 1948, Aidit, 25 tahun, dan Soetanti 24 tahun, menikah secara islam tanpa pesta, di rumah KH Raden Dasuki, sesepuk PKI Solo, yang bertindak sebagai penghulu. Moedigdo, Aminah, dan empat adik Soetanti datang. Hanya Murad dan Sobron dua adik Aidit yang menwakili keluarga Belitung. Aidit lalu menjadi Ketua Politbiro eksekutif dalam partai PKI 1951. Ia kian sibuk dengan berpergian ke luar negeri, mengunjungi dan menghadiri rapat-rapat internasioanl Komunis di Vietnam, Thiongkok, dan Rusia. ”tak ada mesra mesraan seperti pasagan muda lainnya”.  
Semasa kepemiminan Aidit, sikap antipoligami dan antiperselingkuhan ini hampir  menjadi “garis partai”. Oey Hay Djoen, bekas anggota parlemen dan Dewan Pakar Ekonomi PKI,. Bercerita pada masa jayanya banyak anggota PKI yang diskors karena ketahuan mencari istri orang.
AIDIT AKTIF DALAM PEMUDA MENJELANG DAN SETELAH PROKLAMASI. IKUT MENCULIK SOEKARNO DAN HATTA?
Ada beragam versi peran Aidit, ketika itu 22 tahun, di sekitr proklamasi. Cerita keikutsertaan Aidit ke rumah Soekarno dituturkan Sidik Kertapati dalam buku Sekitar Proklamasi 17 Agustus 1945. Dalam tulisannya Sidik menyebut Aidit juga ikut rombongan pemuda menculik Soekarno-Hatta. Kitab sejarah Perjuangan Pemuda Indonesia terbitan Balai Pustaka oleh Panitia Penyusun Biro Pemuda Departemen P&K mencatat hal yang sama. Kepada Z. Yasni tertuang dalam buku Bung Hatta Menjawab Hatta menegaskan Aidit tak ada di rumah Bung Karno malam itu. Dia hanya mengingat Wikana dan Soekarni. Sedangkan dalam buku Menteng 31 Menbangun Jembatan Dua Angkatan, A.M. Hanafi mengatakan bahwa Aidit terlibat karena mengantarkan Wikana.
Murad tidak begitu mengingat apaka Aidit ikut membawa Sukarno ke Rengasdengklok. Syodanco Singih, anggota PETA, yang bersama Soekarni membawa Soekarno-Hatta, pun tak menyebut kehadiran Aidit dalam rombongan “penculik”.
Budayawan dan Penerjemah Oey Hay Djoen mengatakan, Hatta amat menyukai Aidit yang cerdas dan berani. “belakangan, ketika Aidit mulai terlibat dengan kelompok kiri, Hatta marah”. Maklum, Aidit dekat dengan Wikana yang memimin perjuangan PKI bawah taanah di Jawa Barat. Buku-buku bertema Marxisme dan sosialisme menjadi bacaan utamanya.
Setelah proklamasi kemerdekaan, padda awal September, aktivis Menteng 3 membentuk Angkatan Pemuda Indonesia (API). Wikana terpilih sebagai ketua. Sekretarianya A.M. Hanafi. “Bang Amat (D.N. Aidit) menjadi ketua API Jakarta Raya”, ujar Murad.

 BERAKHIR SEPERTI MUSSO
Musso dari Rusia membangkitkan gairah revolusi Dipa Nusantara Aidit. Ia begitu berkesan pada gagasan Musso, “jalan batu bagi Republik”. Menurut arsitek pemberontakan PKI di Jawa dan Sumatra pada 1926 itu. Menurut ia revolusi itu justru merupakan kegagalan besar. Menurut ia, revolusi itu justru merupakan kegagalan besar kaum revolusioner. Kepemimpinan nasional jatuh ke tangan individu yang ditudingnya borjuis: Sukarno-Hatta.
THE THREE MUSKETEERS
Madiun, 19 September 1948. Sebelas pemimpin teras PKI tewas, Musso, Amir Sjarifuddin, dan Maroeto Daroesman ditembak mati di Desa Ngalihan, Solo. Pertain limbung, tercerai berai, tiba-tiba muncul tiga anak muda, Aidit, Njoto, dan Lukman, bagaikan The Three Musketeers. Ketiganya menghidupkan partai dan bisa membuat lebih besar. Mereka kemudian dikenal sebagai trisula PKI : Sekretaris Jendral, Wakil Sekjen I, dan Wakil Sekjen II.
Dipa Nusantara Aidit pertama kali bertemu dengan Mohammad Hakim Lukman pada 1943 di Menteng 31, Jakarta. Mereka bergabung dengan Gerakan Indonesia Merdeka. Aidit lebih muda dari pada Lukman yang ketika itu baru berusia 23 tahun, Aidit kemudian menjadi Ketua Dewan Politik Gerakan Indonesia Merdeka, dan Lukman anggota. Sejak itu Aidit dan Lukman akrab dan seolah ditakdirkan melakoni sejarah hidup yang sama. Keduanya pernah dijebloskan ke penjara Jatinegara oleh Polisi Militer Jepang karena ikut menggerakan demonstrasi di Lapangan Ikada pada 19 September 1945.
Sejak kantor PKI pindah ke jalan Boemi 29, Solo, ke jalan Bintaran, Yogyakarta. Disinilah keduanya lalu bertemu dengan Njoto saat itu 19 tahun. Pemuda berkaca mata tebal itu adalah wakil PKI Banyuwangi dalam Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Sejak itulah terjalin persahabatan antara Aidit, Njoto, Lukman. Saat KNIP bersidang di Malang pada Maret 1947, Aidit terpilih menjadi ketua Fraksi PKi, Njoto memimpin Badan Pekerja KNIP. Aidit, Njoto, dan Lukman kemudian masuk Komisi Penterjemah PKi pada awal tahun 1948.
Pada Agustus 1948, tiga serangkai ini bersama-sama menjadi anggota Comite Central PKI. Aidit mengurus agrarian, Lukman di secretariat agritasi dan propaganda , sedangkan Njoto menjalin relasi dengan badan-badan perwakilan. Dua tahun kemudian mereka memimpin partai. Aidit menjadi Sekretris Jendral, Lukman wakil sekjen I, dan Njoto menjadi wakil sekjen II (jabatan ini diganti menjadi ketua dan wakil ketua pada 1959).
 SEBERAPA JAUH KETERLIBATAN D.N. AIDIT DENGAN GERKAN 30 SEPTEMBER?
Peran Aidit dalam “ kup” 30 September 1965 memang kasih misteri sejumlah sejarahwan, juga sejumlah kalangan militer, yakin PKI dalang penculikan dan pebunuhan tujuh jendral Angkatan Darat. Karena PKI terlibat, maka Aidit pun, sebagai Ketua Comite Central, dituding sebagai otaknya.
Aidit mengawali “karier politiknya” dari Asrama Menteng 31, asrama yang dikenal  sebagai “sarang ppemuda garis keras” pada awal kemerdekaan. Di tempat ini berdiam antara lain, Anak Marhaen Hanafi (pernah menjadi Duta Besar Republik Indonesia untuk Kuba), Adam Malik dan Sayuti Melik (pengetik naskah Proklamasi).  Para penghuni Menteng 31 sempat menculik Sukarno dan memaksa si Bung memproklamasikan kemerdekaan Indonesia sesatu yang kemudian di tolak Bung Karno. Di kelompok Menteng 31, Aidit sangat dekat dengan Wikana, seorang pemuda sosialis. Aidit sering disebut-sebut berperan dalam pembrontakan PKI di Madiun pada tahun 1948.
Bersama “kelompok muda” partai, Aidit menyingkirkan tokoh-tokoh lama partai. Pada Kongres PKI 1954, pemimpin PKI beralih ke generasi muda. Toh partai semacam Tan Ling Djie dan alimin disingkirkan. Kerja keras Aidit membuahkan hasil pada pemilu PKI tahun 1955, PKI masuk “empat besar” setelah PNI, Masyumi, dan Nahdatul Ulama. Di masa ini PKi menjadi partai komunis terbesar di Negara non-komunis dan partai komunis terbesar ketiga di dunia setelah Rusia dan Cina.
Dalam buku Bayang-Bayang PKI yang disusun tim Institut Studi Arus Informasi (1999), diduga Aidit tahu adanya peristiwa G30S karena ia membentuk dua organisasi PKI legal dan PKI illegal. Biro Chusus adalah badan PKI tidak resmi. Sjam bertugas mendekati tentara dan melaporkan hasilnya, khusus bersama Aidit. Hanya, ternyata. Tidak semua “hasil” dilaporkan Sjam. Tentang besarnya peran Aidit dalam peristiwa 30 September ditampik Soebandrio. Menurut berkas Wakil Perdana Mentri era Soekarno ini, G30S didalangi tentara dan PKI terseret lewat tangan Sjam. Alas an Soebandrio, sejak isu sakitnya Bung Karno merebak, Aidit termasuk yang tahu kabar tentang kesehatan Bung Karno itu bohong.
Njoto membantah pernyataan Aidit, menurut Njoto “hubungan PKI dengan Gerakan G30S dan pembunuhan Jendral angkatan Darat tidak ada. Saya tidak tahu apapun, sampai-saampai sesudah terjadiya,” kata Njoto. Dan pernyataan Njoto sama dengan komentar  Oey Hay Djoen, mantan anggota Comite Central. Kami semua tidak tahu apa yang terjadi,” kata dia.
Misteri memang masih melingkupi peristiwa ini. “menurut kami, PKI memang terlibat, tetapi terlibat seperti apa?” kata Murad. Setelah sepuluh tahun tragedy itu berlalu, pernyataan itu belum menemukan jawabannya. Setidaknya bagi Murad daan anggota anggota keluarga Aidit yang lain.


SETELAH LAMPU DEPA DIMATIKAN
Malam terakhir sebelum pergi, Aidit masih menerima tamu dan bertengkar dengan istrinya. Menurut Victor Miroslav Fic, penulis buku Kudeta 1 Oktober 1965, Sebuah Studi tentang Konspirasi, di rumah Sjam, Aidit melakukan cek terakhir Gerakan 30 September. Dia juga dipertemukan degan Mayor Jendral Pranoto Reksosamodro, perwira tinggi yang dekat dengan Presiden Sukarno.
Versi lain tertulis dalam surat Aidit ke Sukarno, tertanggal 6 Oktober 1965. Menurut surat itu, malam 30 September 1965, ia dijemput Cakrabirawa untuk rapat darurat cabinet di Istana Negara. Tapi ia malah dibawa ke Jatinegata dan Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma.
Tidak jelas mana yang benar. Hingga kinipun kami tidak ada kejelasan apa saja yang terjadi pada Aidit setelah dia meminta Murad mematika lampu depan sebelum meninggalkan rumah di Pengangsaan. Pihak keluarga hanya tahu beberapa tahun kemudian, bahwa Aidit pernah dibawa ke Halim. Yang lainnya, gelap.  
KAWAN KETUA KE DAERAH BASIS
Aidit menggelar rapat partai di tiga kota dalam sehari. Ada yang bilang itu konsolidasi, ada juga yang menyebutkan penyelamatan diri belaka.   Menurut Victor Miroslav Fic, di kota Yogyakarta. Aidit bertemu dengan pimpinan PKI setempat. Sempat dibahas kemungkinan membentuk kelompok bersenjataa untuk mendukung Dewan Revolusi. Untung, meski itu tak jadi dilaksanaakan karena dianggap tidak mungkin. Pertemuan beberapa jam itu akhirnya memutuskan bahwa PKI setempat akan melancarkan aksi-aksi masa untuk membela Bung Karno. Pertemuan hanya berlangsung beberapa jam, setelah Aidit bertolak ke Semarang. Wakil Ketua 1 CC PKI M.H. Lukman dan pimpinan PKI Jawa Tengah di kabarkan pertemuan darurat di Semarang.
Seusai pertemuan, petang itu juga Aidit dilaporkan meluncur ke Boyolali. Seorang eks anggota Gerakan Siswa Nasional Indonesia Boyolali, Jungkung, mengaku pernah melihat Aidit di jalan raya Boyolali,  justru akhir Oktober 1965. Pada hari yang sama, Aidit melaju ke Solo. Ia bertemu da menggelar rapat dengan petinggi partai, termasuk Wali kota Solo yang juga kader, Utomo Ramelan. Dalam rapat ini, Aidit dikabarkan gagal mendapatkan dukungan kolega partainya untuk menerima hasil keputusan pertemua Semarang. Bertolak dengan hasil Semarang, pertemuan Solo justru mendukung operasi Gerakan 30 september beserta tujuan-tujuannya. Dan perbedaan keputusan Semarang da Solo inilah yang menyebabkan pendukung partai terbelah: golongan radikal dan moderat.

RAHASIA SUMUR MATI
Dulu, banguna ini adalah bagian dari kompleks markas Batalion 444 TNI Angkatan Darat di Boyolali sebuah kota di kabupaten sekitar 25 kilometer di sebelah barat Solo, Jawa Tengah. Meski tak berbekas, banyak orang menyakini, disepetak halaman itu pernah ada sebuah sumur tua tempat jenazah Dipa Nusantara Aidit, Ketua Umum Central Comitee PKI, dikuburkan pada 23 November 1965.
Pada suatu malam di tahun berdarah 1965, dia bertemu Kolonel Yasir Hadibroto dalam sebuah rapat organsasi massa pendapa kabupaten, dia bercerita bahwa pertemuan itu Yasir mengumumkan pasukannya telah menebak mati Aidit beberapa hari sebelumnya. “ sejak lulus kuliah sampai 1998, saya selalu mencari kuburan Ayah dengan sembunyi-sembunyi,” katanya akhir September 2007.
Tempo mendatangi lokasi itu akhir September 2007. Da seorang penghuni di mes Kodim membenarkan pekarangan belakang gedung itu disebut-sebut sebagai lokasi kuburan Aidit. Dia menambahkan, telah lama warga setempat berusaha menghindari bekas sumur tua itu. “penah ada orang yang mau membuat bak sampah tepat diatasnya, tapi cangkulnya membentur batu keras,” katanya. Saat bergeser beberapa ke samping , justru muncul pecahan tulang tempurung tengkorak. Lubang itu buru-buru di tutup lagi.
Ketika akhirnya berdiri disamping pusara ayahnya pada 2003 lalu, ilham mengaku tak kuasa menahan getaran hatinya. “naluri saya mengatakan memang disinlah batinnya,” katanya dengan suara tercekat.
SESUDAH MALAM HORO ITU
Dari sebuah kehidupan yang sentosa, keluarga D.N. Aidit luluh lantak setelah horror 30 September  1965. Anak dan istri pemimpin Partai Komunis Indonesia itu bercerai berai. Dua anak gadisnya menjadi eksil dan berpindah dari satu Negara ke Negara lain. 
Abdullah Aidit, ayah D.N. Aidit (jenazahnya membusuk tuga hari)
Menurut Murad Aidit, putra bungsu Abdullah Aidit, ayahnya kemudian terbang ke Belitung atas bantuan Wakil Perdana Mentri Chaerul Saleh. Tiga tahun menetap di Belitung Abdullah jatuh sakit. Dia akhirnya meninggal ketika rumah itu kosong karena Marisah, istri kedua Abdullah, tengah menginap di rumah saudaranya. Tetangga sekitar jarang ke rumah itu, takut terkena getah G30S. karena  tidak ada yang mengurus, jenazah Abdullah tidak ada yang mengurus dan membusuk tiga hari.

Basri Aidit, adik D.N. Aidit (jadi tukang kebun di Bogor)
Selama ayah dipembuangan, anak istri menjual habis barang di rumah untuk bertahan hidup. Setelah semuanya ludes, hidup keluarga ini sangat bergantung pada bantua saudara, kenalan dan teman. Basri keluar dari Buru tahun 1980. Atas bantuan keluarganya di Belitung, dia bisa membeli sebuah rumah di Bogor, Jawa Barat. Disana ia berkebun sambil mengajar bahasa inggris untuk anak-anak tetangga.
Murad Aidit, adik D.N. Aidit (diisolasi di Unit 15)
Sebagaimana anggota PKI lainnya, Murad dipenjara berpindah-pindah. Semula di tahan di Bogor, setelah itu di Bandung, lalu ke rumah tahanan khusus di Salemba, Jakarta. Pada 19971 Murad dibuang ke Pulau Buru. Di pembungan itu ia diisolasi di unit 15. Ini unit khusus untuk menahan petinggi PKI dan mahasiswa yang pernah dikirim Soekarno belajar ke luar negeri. Dan Murad bebas pada tahun 1979.
Sobron Aidit, adik tiri Aidit (hingga wafat di Paris)
Sejak remaja Sobron suka satra. Kegemaran itu kian menyala setelah diaa datag ke Jakarta pada 1948 dan bertamu kepada Chairil Anwar. Setelah menjadi penyiar dan redakur Radio Beijing, pada 1981 ia pindah ke Paris. Bersama eksil lainnya, J.J Kusni dan Umar Said, Sobron menirikan Restoran Indonesia di Rue de Vaugirard, di kawasan Luxembourg, Paris. Sobron meninggal pada februasri 2007 karena penyumbatan darah di otak.
Ashan Aidit, adik tiri Aidit (jatuh cinta pada gadis Vietnam)
Saat peristiwa 30 September meletus, asahan sedang di Moskow. Di ibu negeri beruang merah itu, asaha sedang memperdalam studi filologi. Mendengar snak familinya di Indonesia dauber-uber, asahan enggan pulang. Dia kemudian pergi ke Cina. Dari saana Asahan pindah ke Vietnam dan meraih gelar doktor dalam bidang bahasa disana. Dia menikahi gadis Vietnam.
Dokter Soesati, istri D.N. Aidit ( menyamar jadi istri orang)
Malam 30 September 1965, soetati bertengkar keras dengan D.N. Aidit. Tanti ingin suaminya tetap tinggal di rumah dan tidak mengikuti kemauan para penjemputnya. Tetapi Aidit memilih pergi. Tiga hari setelah malam kelabu itu, Tanti menghilang dari rumah meninggalkan tiga anak laki-lakinya yang masih kecil. Belakangan baru terungkap, Tanti menyusul suaminya ke Boyolali dan bertemu Bupati Boyolali, dia kembali ke Jakarta dengan cara menyamar. Tannti dan Bupati itu pura-pura menjadi suami istri. Agar aksi penyamaran ini sukses, “Dua orang bocah kemudian diambil sebagai anak angkat.”  Kata Ilham Aidit. Setelah sembilan tahun sakit-sakitan, Tanti wafat pada tahun 1991.
Ibaruri Putri Alam dan Ilya Aidit, dua putrid D.N. Aidit (memilih berlauh di Paris).
Keduanya terakhir bertemu sang ayah ketika berlibur di Jakarta pada Mei-September 1965. Belakangan, seorang utusan dari Partai Komunis Soviet menemuai mereka dan mengabarkan bahwa sang ayah telah ditembak. Koran-koran mengabarkan Aidit ditembak mati di Boyolali, 23 November 1965. Dua gadis itu kemudian berkelana dari suatu Negara ke Negara lain. Pada 17 februari 1970 mereka pindah ke Beijing, Cina. Dari situ mereka ke Burma, sebelum akhirnya menetap di Paris hingga sekarang.
AIDIT DAN SERANGAN DI PAGI BUTA
Jum’at, dini hari, 30 September 1965. Itulah akhir mereka melihat Ayahanda mereka meninggalkan rumah, bersama pasukan berseragam Cakrabirawa.
Amelia Ahmad Yani
Putri ketiga  Letnan Jendral Achmad Yani, masih berusia 16 tahun. Menurutnya, “Aidit ingin merebut kekuasaan dn menganggap Yani dan Jendral lainnya sebagai penghalang,” ketidak setujuan Yani dengan keinginan PKI mengganti idologi Pancasila menjadi komunis. Hal ini telah disampaikan beberapa kali kepada Presiden Sukarno. Namun, kedekata Aidit dengan Sukarno menyebabkan PKI tidak bisa disingkirkan begitu saja.
Salomo Pandjaitan
Salomo Pandjaitan, yang lahir pada 1952, putra ketiga Brigadir Jendral Donald Ishak Pandjaitan. “Aidit adalah penghianat, yang ingin membelokan idiologi Negara. Salah satunya dengan mendekati dan mempengaruhi Presiden Sukarno”. Aidit, di mata Salomo, adalah gerankan 30 September.
Rianto Nurhadi Harjono
Rianto Nurhadi, dipanggil Riri putra ketiga mayor Jedral Mas Tirtodarmo Harjono. Namun Riri mengakui peran PKI pada tahun 1965 cukup besar, sehingga kelompok lain, di antaranya TNI Angkatan Darat, menjadi khawatir. Apalagi saat itu PKI hendak memaksakan system komunis di Indonesia. Inilah yang kemudian memicu perseteruan antara PKI dan TNI Angkatan Darat.
Agus Widjojo
Agus putra pertama Brigadir Jendral Soetojo Siswamiharjo. “saat itu saya tidak tahu jelas peseteruan politik antara TNI Angkatan Darat dan PKI dan kenapa Ayah saya dibunuh,” ujar agus. Lama ia baru menyadari bahwa Ayahnya menjadi salah satu sasaran PKI karena dianggap sebagai batu penghalang PKI untuk berkuasa.Menurut Agus, lahir 1947, perseteruan antara  Angkatan Darat dan PKI bermula dari tersiarnya kabar bahw Presiden Soekarno sakit keras.” PKI berambisi ingin berkuasa, namun dihalangi Angkatan Darat,” kata agus.
Ratna Purwati Soeprapto
Ratna Purwati telah berumur 18 tahun ketika peristiwa yang merenggut Ayahnya, Mayor Jendral R. Soeprapto. Dia tidak bisa menyimpulkan PKI sebagai pelaku utamanya, “karena saat itu Aidit sangat dekat dengan Presiden Soekarno.” Ratna kerap melihat Aidit berpidato di samping Sukarno. Tidak hanya itu, Sukarno bahkan merangkul PKI menjadi salah satu kekuatan dengan mengembangakan system Nasakam: Nasionalis, Agama, dan Komunis.
Film Penghianatan G30S/PKI, untuk beberapa lama, menjadi sumber visualisasi tetang sosok Aidit. Gerakan 30 September itu direka ulang lewat film kolosal Penghianatan G30S/PKI (1982). Itulah pertama kali masyarakat bisa menyaksikan rekaan wajah Aidit dengan jelas melalui interprestasi Syu’bah Asa. Bagaimana gayanya berbicara, bagaiman ekspresinya saat berpikir, termasuk caranya mengepulkan asap rokok. Ada saat Aidit hanya disorot dengan close-up pada gerak bibirnya, terutama ketika menunjukan strategi yang tengah dirancang. Aidit hasil tafsiran saudara Arifin C. Noer adalah Aidit yang penuh maksiat. 
D.N. Aidit juga berhasyrat ingin menjadi penyair, tetapi puisinya ditolak oleh HR Minggu, Amarzan selaku redaktur menolak puisi Aidit dengan alasan ia ingin menyelamatkan “martabat” sang Ketua. “puisinya sejenis puisi poster,” katanya. Saying, Amazan lupa puisi Aidit mana yang ia tolak ketika itu. Aidit banyak menulis puisi, dari 1946 sampai 1965. Sajak-sajaknya hamper seluruhnya berisi pujian-pujian kepada partai, atau anjuran revolusi, bahkan dalam sajak yang personal sekalipun. Selain di Harian Rakyat itu, sajak Aidit kerap muncul di Suara Ibukota, sebuah Koran politik Jakarta yang diasuh seorang aktivis PKI, Hasan Raid. Tak hanya Amazan yang menganggap puisi Aidit jelek. Oey Hay Djoen, bekas anggota parlemen dan Dewan Pakar Ekonomi PKI, juga berpendapat demikian.
Puluhan buku menyajikan aneka versi tentang sosok D.N. Aidit, antara lain:
Ø  Aidit Sang Legenda
Murad Aidit, adik dari Dipo Nusantara Aidit atau DN Aidit, menuliskan kisah hidup kakak kandungnya, seorang tokoh komunis di negeri ini. Selama lebih dari empat puluh tahun nama DN Aidit ditempatkan dalam sejarah hitam Indonesia, dikaitkan dengan PKI (Partai Komunis Indonesia) dan Gerakan 30 September. Berpuluh tahun Murad AIdit bertanya dan mencari: sudah meninggal sungguhkah AIdit? Dimana kuburnya hingga dapat diziarahi
Ø  AIDIT
Buku ini dibuat oleh Sobron Aidit yang berisi 264 halaman dan terbit pada tahun 2005.
Ø  IBARRURI PUTRI ALAM
Anak sulung D.N. Aidit yang terbit pada 2006 sebagai “manusia yang paling aku cintai”.

Ø  MENOLAK MENYERAH
Menyikap Takbir Keluarga Aidit (2005) karya Budi Kurniawan dan Yani Andriansyah boleh dikelompokan dalam buku yang tak boleh terbit di masa Orde baru. 
Ø  PERGOLAKAN POLITIK TENTARA SEBELUM DAN SESUDAH G30S/PKI
Ditulis Todiruan Dydo pada 1989 menyebut Aidit sebagai pemimpin partai licik dan oportunis yang kgawatir Angkatan Darat akan berkuasa setelah Sukarno meninggal.
Ø  SIAPA MENABUR ANGIN
Ø  KEWASPADAAN NASIONAL DAN BAHAYA LATEN KOMUNIS
Menyebutkan kelihaian Aidit memanfaatkan tentara untuk membunuh para jendralnya sendiri.” Bahwa cara kerja PKI harus konspiratif,”
Ø  PEMBERONTAKAN KOMUNIS
Ø  PERLAWANAN PRES INDONESIA BPS TERHADAP GERAKAN PKI
Ø  DALIH PEMBUNUHAN MASSAL
LAMPIRAN
Dipa Nusantara Aidit yang lebih dikenal dengan DN Aidit (lahir di Tanjung Pandan, Belitung, 30 Juli 1923 – meninggal di Boyolali, Jawa Tengah, 22 November 1965 pada umur 42 tahun) adalah Ketua Komite Sentral Partai Komunis Indonesia (CC-PKI). Ia dilahirkan dengan nama Achmad Aidit di Belitung, dan dipanggil "Amat" oleh orang-orang yang akrab dengannya. Di masa kecilnya, Aidit mendapatkan pendidikan Belanda. Ayahnya, Abdullah Aidit, ikut serta memimpin gerakan pemuda di Belitung dalam melawan kekuasaan kolonial Belanda, dan setelah merdeka sempat menjadi anggota DPR (Sementara) mewakili rakyat Belitung. Abdullah Aidit juga pernah mendirikan sebuah perkumpulan keagamaan, "Nurul Islam", yang berorientasi kepada Muhammadiyah.
TERLIBAT  DALAM POLITIK
Menjelang dewasa, Achmad Aidit mengganti namanya menjadi Dipa Nusantara Aidit. Ia memberitahukan hal ini kepada ayahnya, yang menyetujuinya begitu saja. Dari Belitung, Aidit berangkat ke Jakarta, dan pada 1940, ia mendirikan perpustakaan "Antara" di daerah Tanah Tinggi, Senen, Jakarta Pusat. Kemudian ia masuk ke Sekolah Dagang ("Handelsschool"). Ia belajar teori politik Marxis melalui Perhimpunan Demokratik Sosial Hindia Belanda (yang belakangan berganti nama menjadi Partai Komunis Indonesia). Dalam aktivitas politiknya itu pula ia mulai berkenalan dengan orang-orang yang kelak memainkan peranan penting dalam politik Indonesia, seperti Adam Malik, Chaerul Saleh, Bung Karno, Bung Hatta, dan Prof. Mohammad Yamin. Menurut sejumlah temannya, Hatta mulanya menaruh banyak harapan dan kepercayaan kepadanya, dan Achmad menjadi anak didik kesayangan Hatta. Namun belakangan mereka berseberangan jalan dari segi ideologi politiknya.
Meskipun ia seorang Marxis dan anggota Komunis Internasional (Komintern), Aidit menunjukkan dukungan terhadap paham Marhaenisme Sukarno dan membiarkan partainya berkembang. Ia berhasil menjadi Sekjen PKI, dan belakangan Ketua. Di bawah kepemimpinannya, PKI menjadi partai komunis ketiga terbesar di dunia, setelah Uni Soviet dan RRC. Ia mengembangkan sejumlah program untuk berbagai kelompok masyarakat, seperti Pemuda Rakyat, Gerwani, Barisan Tani Indonesia (BTI), Lekra, dan lain-lain.
Dalam kampanye Pemilu 1955, Aidit dan PKI berhasil memperoleh banyak pengikut dan dukungan karena program-program mereka untuk rakyat kecil di Indonesia. Dalam dasawarsa berikutnya, PKI menjadi pengimbang dari unsur-unsur konservatif di antara partai-partai politik Islam dan militer. Berakhirnya sistem parlementer pada tahun 1957 semakin meningkatkan peranan PKI, karena kekuatan ekstra-parlementer mereka. Ditambah lagi karena koneksi Aidit dan pemimpin PKI lainnya yang dekat dengan Presiden Sukarno, maka PKI menjadi organisasi massa yang sangat penting di Indonesia.
Peristiwa G-30-S
DN Aidit saat memberikan sambutan pada ulang tahun ke-5 Partai Persatuan Sosialis Jerman (Sozialistische Einheitspartei Deutschlands) di Berlin (1958).
Pada 1965, PKI menjadi partai politik terbesar di Indonesia, dan menjadi semakin berani dalam memperlihatkan kecenderungannya terhadap kekuasaan. Pada tanggal 30 September 1965 terjadilah tragedi nasional yang dimulai di Jakarta dengan diculik dan dibunuhnya enam orang jenderal dan seorang perwira. Peristiwa ini dikenal sebagai Peristiwa G-30-S.
Pemerintah Orde Baru di bawah Jenderal Soeharto mengeluarkan versi resmi bahwa PKI-lah pelakunya, dan sebagai pimpinan partai, Aidit dituduh sebagai dalang peristiwa ini. Tuduhan ini tidak sempat terbukti, karena Aidit meninggal dalam pengejaran oleh militer ketika ia melarikan diri ke Yogyakarta dan dibunuh di sana oleh militer.
Kematian dan Kontroversi
Ada beberapa versi tentang kematian DN Aidit ini. Menurut versi pertama, Aidit tertangkap di Jawa Tengah, lalu dibawa oleh sebuah batalyon Kostrad ke Boyolali. Kemudian ia dibawa ke dekat sebuah sumur dan disuruh berdiri di situ. Kepadanya diberikan waktu setengah jam sebelum "diberesi". Waktu setengah jam itu digunakan Aidit untuk membuat pidato yang berapi-api. Hal ini membangkitkan kemarahan semua tentara yang mendengarnya, sehingga mereka tidak dapat mengendalikan emosi mereka. Akibatnya, mereka kemudian menembaknya hingga mati. versi yang lain mengatakan bahwa ia diledakkan bersama-sama dengan rumah tempat ia ditahan. Betapapun juga, sampai sekarang tidak diketahui di mana jenazahnya dimakamkan.
Selain kematiannya, kelahiran Aidit pun bermacam-macam versi. Beberapa mengatakan Aidit kelahiran Medan, 30 Juli 1923 dengan nama lengkap Dja'far Nawi Aidit. Keluarga Aidit konon berasal dari Maninjau, Sumatera Barat yang pergi merantau ke Belitung.[1] Namun banyak masyarakat Maninjau tidak pernah mengetahui dan mengakui hal itu





DAFTAR PUSTAKA
Tempo,2010,Aidit Dua Wajah Dipa Nusantara,Jakarta, PT Gramedia
http://id.wikipedia.org/wiki/D._N._Aidit

Tidak ada komentar:

Posting Komentar