AIDIT Dua wajah Dipa
Nusantara
Ahmad Aidit lahir pada 30 juli 1923
di Jalan Belantu 3, Pangkallalang, Belitung. Ayahnya Abdullah Aidit dan Ibunya
Mailan. Abdullah adalah mentri kehutanan, jabatan yang cukup bergensi di
Belitung ketika itu. Mailan lahir dari keluarga ningrat Bangka Belitung. Ayah
Mailan Ki Agus Haji Abdullah Rachman. Title “ki” pada nama itu mencirikan ia
ningrat. Dia juga tuan tanah. Orang-orang Belitung menyebut luas tanah keluarga
ini dengan ujung jari. Maksudnya, sejauh menunjuk, itulah tanah mereka. Adapun
Abdullah Aidit, anak Haji Ismail, seorang pengusaha ikan yang makmur.
Selain mudah bergaul dengan tuan-tuan
Belanda, nak-anak Abdullah juga gampang masuk Hollandsch Inlandsche School
(HIS), sekolah menengah pemerintah Belanda ketika itu. Abdullah punya delapan
anak, semuanya laki-laki. Dari perkawinan dengan Mailan, lahir Ahmad, Basri,
Ibrahim (meninggal dunia ketika dilahirkan), dan Murad. Abdullah kemudian
menikah lagi dengan Marisah dan melahirkan Sobron dan Asahan. Keenam anaknya
itu menyandang nama belakang Aidit- nama keluarga. “namun bukan marga”, kata
Ibaruru Aidit, putrid sulung D.N. Aidit. Dua anak lainnya, Rosiah dan Muhammad
Thoib, adalah ank bawaan Marisah dengan suami sebelumnya.
Orang-orang di jalan Belantu mengenal
Achmadd Aidit sebagai tukang azan. Seperti disebagian besar wilayah Indonesia
saat itu, Belitung juga belum mempunyai pengeras suara guna mengumandangkan
azan. “karena suara Bang Achmad keras, dia kerap diminta mengumandangkan azan”.
Kata Murad Aidit.
SEJAK AWAL MEMBACA
RISIKO
Aidit muda tertarik pada politik
setibanya di Jakarta. Mendirikan Antar dan berganti nama. Pada awal tahun 1936. Achmad berusia 13 tahun,
baru lulus Hollandsch Inlandsche School (HIS). Iaberangkat ke Jakarta,
sesampainya di Batavia, Achmad Aidit di tampung di rumah kawan ayahnya, Marto,
seorang mantra polisi, di kawasan Cempaka Putih. Sayangnya pendaftaran MULO
sudah ditutup ketika Aidit tiba di Batavia. Dia harus puas bersekolah di
Middestand Handel School (MHS), sebuah sekolah dagang di jalan Sabang, Jakarta
Pusat.
Karena terlalu aktif di luar sekolah,
Aidit tidak pernah menyelesaikan pendidikan formalnya di MHS. Tida tahun di
Cempaka Putih, Aidit pindah ke sebuah rumah di Tanah Tinggi 48, kawasan senen,
Jakarta Pusat, ketika indekos di sini, Murad dating menyusul dari Belitung,
jugaa untuk bersekolah di Jakarta.
Stuasi politik ibu kota yang gegap
gempita sudah menarik minat Aidit sejak awal. Diapertama-tama bergabung dengan
Persatua Timur Muda atau Pertimu. Perkumpulan ini dimotori Gerakan Rakyat
Indonesia (Gerindo), di bawah pimpinan Amir Sjarifuddin dan Dr. Adenan Kapau
Gani. Dalam organisasi inilah persinggungan Aidit dengan politik makin
menjadi-jadi. Hanya dalam waktu singkat, Aidit diangkat menjadi Ketua Umum
Pertimu.
Sekitar masa-masa itulah Achmad Aidit
memutuskan berganti nama. Dia memilih memakai nama Dipa Nusantara biasa
disingkat D.N. menurut adik-adiknya, pergantian nama itu lebih dipicu
perhitungan politik Aidit. “dia mulai membaca resiko”, kata Murad. Sejak namanya
berubah itu memang banyak yang tidak mengetahuiasal-usl Aidit. Ia sering
disebut-sebut berdarah Minangkabau, dan D.N di depan namanya adalah singktan
“Djafar Nawawi”. Proses perubahan nama
itu jiga tidak mudah. Abdullah, ayah Aidit tidak bisa dengan segera menerima
gagasan anaknya. Abdullah dan Aidit bersurat suratan beberapa kali, sebelum
akhirnya Abdullah menyerah. Ayah dan anak itu sepakat, nama D.N Aidit baru akan
dipakai jika sudah ada pengesaha dari notaries dan kantor Blugerlijke Stand- atau catatan sipil.
MEMINANG LEWAT SEPUCUK
SURAT
Suatu sang di awal tahun 1946. Kantor
majalah dua bulanan Bintang Merah di jalan Purnosari, Solo, dating dua orang
gadis mahasiswi tingkat tigaPerguruan Tinggi Kedokteran di Klaten, 1946. Kantor
majalah dua bulanan Bintang Merah di jalan Purnosari, Solo, dating dua orang
gadis mahasiswi tingkat tigaPerguruan Tinggi Kedokteran di Klaten, Yogyakarta.
Salah satunya bernama Soesanti.
Soesanti yang disapa Bolletje (kata Belanda yang berrti
bundar) oleh teman-temannya beberapa hari kemudian, dengan kawan lain yang
lebih banyak. Kali ini atas nama Sarekat Mahasiswa Indonesia. Mereka mengundang
Aidit sebagai ketua Departemen Agitasi dan Propaganda Partai Komunis Indonesia
Solo untuk memberikan “kuliah” soal politik dan keorganisasian. Karena urusan
itula Soesati kerap bolak balik Klaten-Solo. Kunjungan berikutnya tak lagi ke
kantor Bintang Merah, tapi ke kantor PKI di Jalaan Boemi 29. Dari
pertemuan-pertemuan itulah, kata Hasan, hubungan Aidit dan Soetanti kian akrab.
Padahal keduanyapun punya watak bertolak belakang.
Aidit yang slalu berbicara tentang
politik dan revolusi, patriotism. Itulah yang membuat Soetanti kesengsem. Dalam
ceramahnya, Aidit fasih mengutip filsafat Marxisme, mengurai revolusi Prancis
dan Rusia, juga soal-soal politik mutakhir. Setiap kali Aidit berpidato, si
bolle senantiasa menyimak di bangku belakang.
Suatu ketika, seusai pidato Aidit
menghampiri Tanti, lalu menyerahkan sepucuk surat yang ditujukan kepada Bapak
Moedigdo, ayah Tanti, seorang kepala polisi Semarang yang aktif di Partai
Sosialis Indonesia. Surat itu ternyata lamaran. Aidit menyampaikan niat
meminang Soetanti. Moedigdo langsung setuju.
Maka awal 1948, Aidit, 25 tahun, dan
Soetanti 24 tahun, menikah secara islam tanpa pesta, di rumah KH Raden Dasuki,
sesepuk PKI Solo, yang bertindak sebagai penghulu. Moedigdo, Aminah, dan empat
adik Soetanti datang. Hanya Murad dan Sobron dua adik Aidit yang menwakili
keluarga Belitung. Aidit lalu menjadi Ketua Politbiro eksekutif dalam partai
PKI 1951. Ia kian sibuk dengan berpergian ke luar negeri, mengunjungi dan
menghadiri rapat-rapat internasioanl Komunis di Vietnam, Thiongkok, dan Rusia.
”tak ada mesra mesraan seperti pasagan muda lainnya”.
Semasa kepemiminan Aidit, sikap
antipoligami dan antiperselingkuhan ini hampir
menjadi “garis partai”. Oey Hay Djoen, bekas anggota parlemen dan Dewan
Pakar Ekonomi PKI,. Bercerita pada masa jayanya banyak anggota PKI yang diskors
karena ketahuan mencari istri orang.
AIDIT AKTIF DALAM
PEMUDA MENJELANG DAN SETELAH PROKLAMASI. IKUT MENCULIK SOEKARNO DAN HATTA?
Ada beragam versi peran Aidit, ketika
itu 22 tahun, di sekitr proklamasi. Cerita keikutsertaan Aidit ke rumah
Soekarno dituturkan Sidik Kertapati dalam buku Sekitar Proklamasi 17 Agustus
1945. Dalam tulisannya Sidik menyebut Aidit juga ikut rombongan pemuda menculik
Soekarno-Hatta. Kitab sejarah Perjuangan Pemuda Indonesia terbitan Balai
Pustaka oleh Panitia Penyusun Biro Pemuda Departemen P&K mencatat hal yang
sama. Kepada Z. Yasni tertuang dalam buku Bung Hatta Menjawab Hatta menegaskan
Aidit tak ada di rumah Bung Karno malam itu. Dia hanya mengingat Wikana dan
Soekarni. Sedangkan dalam buku Menteng 31 Menbangun Jembatan Dua Angkatan, A.M.
Hanafi mengatakan bahwa Aidit terlibat karena mengantarkan Wikana.
Murad tidak begitu mengingat apaka
Aidit ikut membawa Sukarno ke Rengasdengklok. Syodanco Singih, anggota PETA,
yang bersama Soekarni membawa Soekarno-Hatta, pun tak menyebut kehadiran Aidit
dalam rombongan “penculik”.
Budayawan dan Penerjemah Oey Hay
Djoen mengatakan, Hatta amat menyukai Aidit yang cerdas dan berani.
“belakangan, ketika Aidit mulai terlibat dengan kelompok kiri, Hatta marah”.
Maklum, Aidit dekat dengan Wikana yang memimin perjuangan PKI bawah taanah di
Jawa Barat. Buku-buku bertema Marxisme dan sosialisme menjadi bacaan utamanya.
Setelah proklamasi kemerdekaan, padda
awal September, aktivis Menteng 3 membentuk Angkatan Pemuda Indonesia (API).
Wikana terpilih sebagai ketua. Sekretarianya A.M. Hanafi. “Bang Amat (D.N.
Aidit) menjadi ketua API Jakarta Raya”, ujar Murad.
BERAKHIR SEPERTI MUSSO
Musso dari Rusia membangkitkan gairah
revolusi Dipa Nusantara Aidit. Ia begitu berkesan pada gagasan Musso, “jalan
batu bagi Republik”. Menurut arsitek pemberontakan PKI di Jawa dan Sumatra pada
1926 itu. Menurut ia revolusi itu justru merupakan kegagalan besar. Menurut ia,
revolusi itu justru merupakan kegagalan besar kaum revolusioner. Kepemimpinan
nasional jatuh ke tangan individu yang ditudingnya borjuis: Sukarno-Hatta.
THE THREE MUSKETEERS
Madiun, 19 September 1948. Sebelas
pemimpin teras PKI tewas, Musso, Amir Sjarifuddin, dan Maroeto Daroesman
ditembak mati di Desa Ngalihan, Solo. Pertain limbung, tercerai berai,
tiba-tiba muncul tiga anak muda, Aidit, Njoto, dan Lukman, bagaikan The Three
Musketeers. Ketiganya menghidupkan partai dan bisa membuat lebih besar. Mereka
kemudian dikenal sebagai trisula PKI : Sekretaris Jendral, Wakil Sekjen I, dan
Wakil Sekjen II.
Dipa Nusantara Aidit pertama kali
bertemu dengan Mohammad Hakim Lukman pada 1943 di Menteng 31, Jakarta. Mereka
bergabung dengan Gerakan Indonesia Merdeka. Aidit lebih muda dari pada Lukman
yang ketika itu baru berusia 23 tahun, Aidit kemudian menjadi Ketua Dewan
Politik Gerakan Indonesia Merdeka, dan Lukman anggota. Sejak itu Aidit dan
Lukman akrab dan seolah ditakdirkan melakoni sejarah hidup yang sama. Keduanya
pernah dijebloskan ke penjara Jatinegara oleh Polisi Militer Jepang karena ikut
menggerakan demonstrasi di Lapangan Ikada pada 19 September 1945.
Sejak kantor PKI pindah ke jalan
Boemi 29, Solo, ke jalan Bintaran, Yogyakarta. Disinilah keduanya lalu bertemu
dengan Njoto saat itu 19 tahun. Pemuda berkaca mata tebal itu adalah wakil PKI
Banyuwangi dalam Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Sejak itulah terjalin
persahabatan antara Aidit, Njoto, Lukman. Saat KNIP bersidang di Malang pada
Maret 1947, Aidit terpilih menjadi ketua Fraksi PKi, Njoto memimpin Badan
Pekerja KNIP. Aidit, Njoto, dan Lukman kemudian masuk Komisi Penterjemah PKi
pada awal tahun 1948.
Pada Agustus 1948, tiga serangkai ini
bersama-sama menjadi anggota Comite Central PKI. Aidit mengurus agrarian,
Lukman di secretariat agritasi dan propaganda , sedangkan Njoto menjalin relasi
dengan badan-badan perwakilan. Dua tahun kemudian mereka memimpin partai. Aidit
menjadi Sekretris Jendral, Lukman wakil sekjen I, dan Njoto menjadi wakil
sekjen II (jabatan ini diganti menjadi ketua dan wakil ketua pada 1959).
SEBERAPA JAUH KETERLIBATAN D.N. AIDIT DENGAN GERKAN 30 SEPTEMBER?
Peran Aidit dalam “ kup” 30 September
1965 memang kasih misteri sejumlah sejarahwan, juga sejumlah kalangan militer,
yakin PKI dalang penculikan dan pebunuhan tujuh jendral Angkatan Darat. Karena
PKI terlibat, maka Aidit pun, sebagai Ketua Comite Central, dituding sebagai
otaknya.
Aidit mengawali “karier politiknya”
dari Asrama Menteng 31, asrama yang dikenal
sebagai “sarang ppemuda garis keras” pada awal kemerdekaan. Di tempat
ini berdiam antara lain, Anak Marhaen Hanafi (pernah menjadi Duta Besar
Republik Indonesia untuk Kuba), Adam Malik dan Sayuti Melik (pengetik naskah
Proklamasi). Para penghuni Menteng 31
sempat menculik Sukarno dan memaksa si Bung memproklamasikan kemerdekaan
Indonesia sesatu yang kemudian di tolak Bung Karno. Di kelompok Menteng 31,
Aidit sangat dekat dengan Wikana, seorang pemuda sosialis. Aidit sering
disebut-sebut berperan dalam pembrontakan PKI di Madiun pada tahun 1948.
Bersama “kelompok muda” partai, Aidit
menyingkirkan tokoh-tokoh lama partai. Pada Kongres PKI 1954, pemimpin PKI
beralih ke generasi muda. Toh partai semacam Tan Ling Djie dan alimin
disingkirkan. Kerja keras Aidit membuahkan hasil pada pemilu PKI tahun 1955,
PKI masuk “empat besar” setelah PNI, Masyumi, dan Nahdatul Ulama. Di masa ini
PKi menjadi partai komunis terbesar di Negara non-komunis dan partai komunis
terbesar ketiga di dunia setelah Rusia dan Cina.
Dalam buku Bayang-Bayang PKI yang
disusun tim Institut Studi Arus Informasi (1999), diduga Aidit tahu adanya
peristiwa G30S karena ia membentuk dua organisasi PKI legal dan PKI illegal.
Biro Chusus adalah badan PKI tidak resmi. Sjam bertugas mendekati tentara dan
melaporkan hasilnya, khusus bersama Aidit. Hanya, ternyata. Tidak semua “hasil”
dilaporkan Sjam. Tentang besarnya peran Aidit dalam peristiwa 30 September
ditampik Soebandrio. Menurut berkas Wakil Perdana Mentri era Soekarno ini, G30S
didalangi tentara dan PKI terseret lewat tangan Sjam. Alas an Soebandrio, sejak
isu sakitnya Bung Karno merebak, Aidit termasuk yang tahu kabar tentang
kesehatan Bung Karno itu bohong.
Njoto membantah pernyataan Aidit,
menurut Njoto “hubungan PKI dengan Gerakan G30S dan pembunuhan Jendral angkatan
Darat tidak ada. Saya tidak tahu apapun, sampai-saampai sesudah terjadiya,”
kata Njoto. Dan pernyataan Njoto sama dengan komentar Oey Hay Djoen, mantan anggota Comite Central.
Kami semua tidak tahu apa yang terjadi,” kata dia.
Misteri memang masih melingkupi
peristiwa ini. “menurut kami, PKI memang terlibat, tetapi terlibat seperti
apa?” kata Murad. Setelah sepuluh tahun tragedy itu berlalu, pernyataan itu
belum menemukan jawabannya. Setidaknya bagi Murad daan anggota anggota keluarga
Aidit yang lain.
SETELAH LAMPU DEPA
DIMATIKAN
Malam terakhir sebelum pergi, Aidit
masih menerima tamu dan bertengkar dengan istrinya. Menurut Victor Miroslav
Fic, penulis buku Kudeta 1 Oktober 1965, Sebuah Studi tentang Konspirasi, di
rumah Sjam, Aidit melakukan cek terakhir Gerakan 30 September. Dia juga
dipertemukan degan Mayor Jendral Pranoto Reksosamodro, perwira tinggi yang
dekat dengan Presiden Sukarno.
Versi lain tertulis dalam surat Aidit
ke Sukarno, tertanggal 6 Oktober 1965. Menurut surat itu, malam 30 September
1965, ia dijemput Cakrabirawa untuk rapat darurat cabinet di Istana Negara.
Tapi ia malah dibawa ke Jatinegata dan Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma.
Tidak jelas mana yang benar. Hingga
kinipun kami tidak ada kejelasan apa saja yang terjadi pada Aidit setelah dia
meminta Murad mematika lampu depan sebelum meninggalkan rumah di Pengangsaan.
Pihak keluarga hanya tahu beberapa tahun kemudian, bahwa Aidit pernah dibawa ke
Halim. Yang lainnya, gelap.
KAWAN KETUA KE DAERAH
BASIS
Aidit menggelar rapat partai di tiga
kota dalam sehari. Ada yang bilang itu konsolidasi, ada juga yang menyebutkan
penyelamatan diri belaka. Menurut
Victor Miroslav Fic, di kota Yogyakarta. Aidit bertemu dengan pimpinan PKI
setempat. Sempat dibahas kemungkinan membentuk kelompok bersenjataa untuk
mendukung Dewan Revolusi. Untung, meski itu tak jadi dilaksanaakan karena
dianggap tidak mungkin. Pertemuan beberapa jam itu akhirnya memutuskan bahwa
PKI setempat akan melancarkan aksi-aksi masa untuk membela Bung Karno.
Pertemuan hanya berlangsung beberapa jam, setelah Aidit bertolak ke Semarang.
Wakil Ketua 1 CC PKI M.H. Lukman dan pimpinan PKI Jawa Tengah di kabarkan
pertemuan darurat di Semarang.
Seusai pertemuan, petang itu juga
Aidit dilaporkan meluncur ke Boyolali. Seorang eks anggota Gerakan Siswa
Nasional Indonesia Boyolali, Jungkung, mengaku pernah melihat Aidit di jalan
raya Boyolali, justru akhir Oktober
1965. Pada hari yang sama, Aidit melaju ke Solo. Ia bertemu da menggelar rapat
dengan petinggi partai, termasuk Wali kota Solo yang juga kader, Utomo Ramelan.
Dalam rapat ini, Aidit dikabarkan gagal mendapatkan dukungan kolega partainya
untuk menerima hasil keputusan pertemua Semarang. Bertolak dengan hasil Semarang,
pertemuan Solo justru mendukung operasi Gerakan 30 september beserta
tujuan-tujuannya. Dan perbedaan keputusan Semarang da Solo inilah yang
menyebabkan pendukung partai terbelah: golongan radikal dan moderat.
RAHASIA SUMUR MATI
Dulu, banguna ini adalah bagian dari
kompleks markas Batalion 444 TNI Angkatan Darat di Boyolali sebuah kota di
kabupaten sekitar 25 kilometer di sebelah barat Solo, Jawa Tengah. Meski tak
berbekas, banyak orang menyakini, disepetak halaman itu pernah ada sebuah sumur
tua tempat jenazah Dipa Nusantara Aidit, Ketua Umum Central Comitee PKI,
dikuburkan pada 23 November 1965.
Pada suatu malam di tahun berdarah
1965, dia bertemu Kolonel Yasir Hadibroto dalam sebuah rapat organsasi massa
pendapa kabupaten, dia bercerita bahwa pertemuan itu Yasir mengumumkan
pasukannya telah menebak mati Aidit beberapa hari sebelumnya. “ sejak lulus
kuliah sampai 1998, saya selalu mencari kuburan Ayah dengan sembunyi-sembunyi,”
katanya akhir September 2007.
Tempo mendatangi lokasi itu akhir
September 2007. Da seorang penghuni di mes Kodim membenarkan pekarangan
belakang gedung itu disebut-sebut sebagai lokasi kuburan Aidit. Dia
menambahkan, telah lama warga setempat berusaha menghindari bekas sumur tua
itu. “penah ada orang yang mau membuat bak sampah tepat diatasnya, tapi
cangkulnya membentur batu keras,” katanya. Saat bergeser beberapa ke samping ,
justru muncul pecahan tulang tempurung tengkorak. Lubang itu buru-buru di tutup
lagi.
Ketika akhirnya berdiri disamping
pusara ayahnya pada 2003 lalu, ilham mengaku tak kuasa menahan getaran hatinya.
“naluri saya mengatakan memang disinlah batinnya,” katanya dengan suara
tercekat.
SESUDAH MALAM HORO ITU
Dari sebuah kehidupan yang sentosa,
keluarga D.N. Aidit luluh lantak setelah horror 30 September 1965. Anak dan istri pemimpin Partai Komunis
Indonesia itu bercerai berai. Dua anak gadisnya menjadi eksil dan berpindah
dari satu Negara ke Negara lain.
Abdullah Aidit, ayah
D.N. Aidit (jenazahnya membusuk tuga hari)
Menurut Murad Aidit, putra bungsu Abdullah Aidit, ayahnya
kemudian terbang ke Belitung atas bantuan Wakil Perdana Mentri Chaerul Saleh.
Tiga tahun menetap di Belitung Abdullah jatuh sakit. Dia akhirnya meninggal
ketika rumah itu kosong karena Marisah, istri kedua Abdullah, tengah menginap
di rumah saudaranya. Tetangga sekitar jarang ke rumah itu, takut terkena getah
G30S. karena tidak ada yang mengurus, jenazah
Abdullah tidak ada yang mengurus dan membusuk tiga hari.
Basri Aidit, adik D.N.
Aidit (jadi tukang kebun di Bogor)
Selama ayah dipembuangan, anak istri menjual habis barang di
rumah untuk bertahan hidup. Setelah semuanya ludes, hidup keluarga ini sangat
bergantung pada bantua saudara, kenalan dan teman. Basri keluar dari Buru tahun
1980. Atas bantuan keluarganya di Belitung, dia bisa membeli sebuah rumah di
Bogor, Jawa Barat. Disana ia berkebun sambil mengajar bahasa inggris untuk
anak-anak tetangga.
Murad Aidit, adik D.N.
Aidit (diisolasi di Unit 15)
Sebagaimana anggota PKI lainnya, Murad dipenjara
berpindah-pindah. Semula di tahan di Bogor, setelah itu di Bandung, lalu ke
rumah tahanan khusus di Salemba, Jakarta. Pada 19971 Murad dibuang ke Pulau
Buru. Di pembungan itu ia diisolasi di unit 15. Ini unit khusus untuk menahan
petinggi PKI dan mahasiswa yang pernah dikirim Soekarno belajar ke luar negeri.
Dan Murad bebas pada tahun 1979.
Sobron Aidit, adik tiri
Aidit (hingga wafat di Paris)
Sejak remaja Sobron suka satra. Kegemaran itu kian menyala
setelah diaa datag ke Jakarta pada 1948 dan bertamu kepada Chairil Anwar.
Setelah menjadi penyiar dan redakur Radio Beijing, pada 1981 ia pindah ke
Paris. Bersama eksil lainnya, J.J Kusni dan Umar Said, Sobron menirikan
Restoran Indonesia di Rue de Vaugirard, di kawasan Luxembourg, Paris. Sobron
meninggal pada februasri 2007 karena penyumbatan darah di otak.
Ashan Aidit, adik tiri
Aidit (jatuh cinta pada gadis Vietnam)
Saat peristiwa 30 September meletus, asahan sedang di Moskow.
Di ibu negeri beruang merah itu, asaha sedang memperdalam studi filologi.
Mendengar snak familinya di Indonesia dauber-uber, asahan enggan pulang. Dia
kemudian pergi ke Cina. Dari saana Asahan pindah ke Vietnam dan meraih gelar
doktor dalam bidang bahasa disana. Dia menikahi gadis Vietnam.
Dokter Soesati, istri
D.N. Aidit ( menyamar jadi istri orang)
Malam 30 September 1965, soetati bertengkar keras dengan D.N.
Aidit. Tanti ingin suaminya tetap tinggal di rumah dan tidak mengikuti kemauan
para penjemputnya. Tetapi Aidit memilih pergi. Tiga hari setelah malam kelabu
itu, Tanti menghilang dari rumah meninggalkan tiga anak laki-lakinya yang masih
kecil. Belakangan baru terungkap, Tanti menyusul suaminya ke Boyolali dan
bertemu Bupati Boyolali, dia kembali ke Jakarta dengan cara menyamar. Tannti
dan Bupati itu pura-pura menjadi suami istri. Agar aksi penyamaran ini sukses,
“Dua orang bocah kemudian diambil sebagai anak angkat.” Kata Ilham Aidit. Setelah sembilan tahun
sakit-sakitan, Tanti wafat pada tahun 1991.
Ibaruri Putri Alam dan
Ilya Aidit, dua putrid D.N. Aidit (memilih berlauh di Paris).
Keduanya terakhir bertemu sang ayah ketika berlibur di
Jakarta pada Mei-September 1965. Belakangan, seorang utusan dari Partai Komunis
Soviet menemuai mereka dan mengabarkan bahwa sang ayah telah ditembak.
Koran-koran mengabarkan Aidit ditembak mati di Boyolali, 23 November 1965. Dua
gadis itu kemudian berkelana dari suatu Negara ke Negara lain. Pada 17 februari
1970 mereka pindah ke Beijing, Cina. Dari situ mereka ke Burma, sebelum
akhirnya menetap di Paris hingga sekarang.
AIDIT DAN SERANGAN DI
PAGI BUTA
Jum’at, dini hari, 30 September 1965.
Itulah akhir mereka melihat Ayahanda mereka meninggalkan rumah, bersama pasukan
berseragam Cakrabirawa.
Amelia Ahmad Yani
Putri ketiga Letnan
Jendral Achmad Yani, masih berusia 16 tahun. Menurutnya, “Aidit ingin merebut
kekuasaan dn menganggap Yani dan Jendral lainnya sebagai penghalang,” ketidak
setujuan Yani dengan keinginan PKI mengganti idologi Pancasila menjadi komunis.
Hal ini telah disampaikan beberapa kali kepada Presiden Sukarno. Namun,
kedekata Aidit dengan Sukarno menyebabkan PKI tidak bisa disingkirkan begitu
saja.
Salomo Pandjaitan
Salomo Pandjaitan, yang lahir pada 1952, putra ketiga
Brigadir Jendral Donald Ishak Pandjaitan. “Aidit adalah penghianat, yang ingin
membelokan idiologi Negara. Salah satunya dengan mendekati dan mempengaruhi
Presiden Sukarno”. Aidit, di mata Salomo, adalah gerankan 30 September.
Rianto Nurhadi Harjono
Rianto Nurhadi, dipanggil Riri putra ketiga mayor Jedral Mas
Tirtodarmo Harjono. Namun Riri mengakui peran PKI pada tahun 1965 cukup besar,
sehingga kelompok lain, di antaranya TNI Angkatan Darat, menjadi khawatir.
Apalagi saat itu PKI hendak memaksakan system komunis di Indonesia. Inilah yang
kemudian memicu perseteruan antara PKI dan TNI Angkatan Darat.
Agus Widjojo
Agus putra pertama Brigadir Jendral Soetojo Siswamiharjo.
“saat itu saya tidak tahu jelas peseteruan politik antara TNI Angkatan Darat
dan PKI dan kenapa Ayah saya dibunuh,” ujar agus. Lama ia baru menyadari bahwa
Ayahnya menjadi salah satu sasaran PKI karena dianggap sebagai batu penghalang
PKI untuk berkuasa.Menurut Agus, lahir 1947, perseteruan antara Angkatan Darat dan PKI bermula dari
tersiarnya kabar bahw Presiden Soekarno sakit keras.” PKI berambisi ingin
berkuasa, namun dihalangi Angkatan Darat,” kata agus.
Ratna Purwati Soeprapto
Ratna Purwati telah berumur 18 tahun ketika peristiwa yang
merenggut Ayahnya, Mayor Jendral R. Soeprapto. Dia tidak bisa menyimpulkan PKI
sebagai pelaku utamanya, “karena saat itu Aidit sangat dekat dengan Presiden
Soekarno.” Ratna kerap melihat Aidit berpidato di samping Sukarno. Tidak hanya
itu, Sukarno bahkan merangkul PKI menjadi salah satu kekuatan dengan
mengembangakan system Nasakam: Nasionalis, Agama, dan Komunis.
Film Penghianatan G30S/PKI, untuk
beberapa lama, menjadi sumber visualisasi tetang sosok Aidit. Gerakan 30
September itu direka ulang lewat film kolosal Penghianatan G30S/PKI (1982).
Itulah pertama kali masyarakat bisa menyaksikan rekaan wajah Aidit dengan jelas
melalui interprestasi Syu’bah Asa. Bagaimana gayanya berbicara, bagaiman
ekspresinya saat berpikir, termasuk caranya mengepulkan asap rokok. Ada saat
Aidit hanya disorot dengan close-up pada gerak bibirnya, terutama ketika
menunjukan strategi yang tengah dirancang. Aidit hasil tafsiran saudara Arifin
C. Noer adalah Aidit yang penuh maksiat.
D.N. Aidit juga berhasyrat ingin
menjadi penyair, tetapi puisinya ditolak oleh HR Minggu, Amarzan selaku
redaktur menolak puisi Aidit dengan alasan ia ingin menyelamatkan “martabat”
sang Ketua. “puisinya sejenis puisi poster,” katanya. Saying, Amazan lupa puisi
Aidit mana yang ia tolak ketika itu. Aidit banyak menulis puisi, dari 1946
sampai 1965. Sajak-sajaknya hamper seluruhnya berisi pujian-pujian kepada
partai, atau anjuran revolusi, bahkan dalam sajak yang personal sekalipun.
Selain di Harian Rakyat itu, sajak Aidit kerap muncul di Suara Ibukota, sebuah
Koran politik Jakarta yang diasuh seorang aktivis PKI, Hasan Raid. Tak hanya
Amazan yang menganggap puisi Aidit jelek. Oey Hay Djoen, bekas anggota parlemen
dan Dewan Pakar Ekonomi PKI, juga berpendapat demikian.
Puluhan buku menyajikan aneka versi tentang sosok D.N. Aidit,
antara lain:
Ø Aidit Sang Legenda
Murad Aidit, adik dari Dipo Nusantara
Aidit atau DN Aidit, menuliskan kisah hidup kakak kandungnya, seorang tokoh
komunis di negeri ini. Selama lebih dari empat puluh tahun nama DN Aidit
ditempatkan dalam sejarah hitam Indonesia, dikaitkan dengan PKI (Partai Komunis
Indonesia) dan Gerakan 30 September. Berpuluh tahun Murad AIdit bertanya dan
mencari: sudah meninggal sungguhkah AIdit? Dimana kuburnya hingga dapat
diziarahi
Ø AIDIT
Buku ini dibuat oleh Sobron Aidit
yang berisi 264 halaman dan terbit pada tahun 2005.
Ø IBARRURI PUTRI ALAM
Anak sulung D.N. Aidit yang terbit
pada 2006 sebagai “manusia yang paling aku cintai”.
Ø MENOLAK MENYERAH
Menyikap Takbir Keluarga Aidit (2005)
karya Budi Kurniawan dan Yani Andriansyah boleh dikelompokan dalam buku yang
tak boleh terbit di masa Orde baru.
Ø PERGOLAKAN POLITIK TENTARA SEBELUM DAN SESUDAH G30S/PKI
Ditulis Todiruan Dydo pada 1989
menyebut Aidit sebagai pemimpin partai licik dan oportunis yang kgawatir
Angkatan Darat akan berkuasa setelah Sukarno meninggal.
Ø SIAPA MENABUR ANGIN
Ø KEWASPADAAN NASIONAL DAN BAHAYA LATEN KOMUNIS
Menyebutkan kelihaian Aidit
memanfaatkan tentara untuk membunuh para jendralnya sendiri.” Bahwa cara kerja
PKI harus konspiratif,”
Ø PEMBERONTAKAN KOMUNIS
Ø PERLAWANAN PRES INDONESIA BPS TERHADAP GERAKAN PKI
Ø DALIH PEMBUNUHAN MASSAL
LAMPIRAN
Dipa Nusantara Aidit yang lebih
dikenal dengan DN Aidit (lahir di Tanjung Pandan, Belitung, 30 Juli 1923 –
meninggal di Boyolali, Jawa Tengah, 22 November 1965 pada umur 42 tahun) adalah
Ketua Komite Sentral Partai Komunis Indonesia (CC-PKI). Ia dilahirkan dengan
nama Achmad Aidit di Belitung, dan dipanggil "Amat" oleh orang-orang
yang akrab dengannya. Di masa kecilnya, Aidit mendapatkan pendidikan Belanda.
Ayahnya, Abdullah Aidit, ikut serta memimpin gerakan pemuda di Belitung dalam
melawan kekuasaan kolonial Belanda, dan setelah merdeka sempat menjadi anggota
DPR (Sementara) mewakili rakyat Belitung. Abdullah Aidit juga pernah mendirikan
sebuah perkumpulan keagamaan, "Nurul Islam", yang berorientasi kepada
Muhammadiyah.
TERLIBAT DALAM POLITIK
Menjelang dewasa, Achmad Aidit
mengganti namanya menjadi Dipa Nusantara Aidit. Ia memberitahukan hal ini
kepada ayahnya, yang menyetujuinya begitu saja. Dari Belitung, Aidit berangkat
ke Jakarta, dan pada 1940, ia mendirikan perpustakaan "Antara" di
daerah Tanah Tinggi, Senen, Jakarta Pusat. Kemudian ia masuk ke Sekolah Dagang
("Handelsschool"). Ia belajar teori politik Marxis melalui
Perhimpunan Demokratik Sosial Hindia Belanda (yang belakangan berganti nama
menjadi Partai Komunis Indonesia). Dalam aktivitas politiknya itu pula ia mulai
berkenalan dengan orang-orang yang kelak memainkan peranan penting dalam
politik Indonesia, seperti Adam Malik, Chaerul Saleh, Bung Karno, Bung Hatta,
dan Prof. Mohammad Yamin. Menurut sejumlah temannya, Hatta mulanya menaruh
banyak harapan dan kepercayaan kepadanya, dan Achmad menjadi anak didik
kesayangan Hatta. Namun belakangan mereka berseberangan jalan dari segi
ideologi politiknya.
Meskipun ia seorang Marxis dan
anggota Komunis Internasional (Komintern), Aidit menunjukkan dukungan terhadap
paham Marhaenisme Sukarno dan membiarkan partainya berkembang. Ia berhasil
menjadi Sekjen PKI, dan belakangan Ketua. Di bawah kepemimpinannya, PKI menjadi
partai komunis ketiga terbesar di dunia, setelah Uni Soviet dan RRC. Ia
mengembangkan sejumlah program untuk berbagai kelompok masyarakat, seperti
Pemuda Rakyat, Gerwani, Barisan Tani Indonesia (BTI), Lekra, dan lain-lain.
Dalam kampanye Pemilu 1955, Aidit dan
PKI berhasil memperoleh banyak pengikut dan dukungan karena program-program
mereka untuk rakyat kecil di Indonesia. Dalam dasawarsa berikutnya, PKI menjadi
pengimbang dari unsur-unsur konservatif di antara partai-partai politik Islam
dan militer. Berakhirnya sistem parlementer pada tahun 1957 semakin
meningkatkan peranan PKI, karena kekuatan ekstra-parlementer mereka. Ditambah
lagi karena koneksi Aidit dan pemimpin PKI lainnya yang dekat dengan Presiden
Sukarno, maka PKI menjadi organisasi massa yang sangat penting di Indonesia.
Peristiwa G-30-S
DN Aidit saat memberikan sambutan pada ulang tahun ke-5
Partai Persatuan Sosialis Jerman (Sozialistische Einheitspartei Deutschlands)
di Berlin (1958).
Pada 1965, PKI menjadi partai politik
terbesar di Indonesia, dan menjadi semakin berani dalam memperlihatkan
kecenderungannya terhadap kekuasaan. Pada tanggal 30 September 1965 terjadilah
tragedi nasional yang dimulai di Jakarta dengan diculik dan dibunuhnya enam
orang jenderal dan seorang perwira. Peristiwa ini dikenal sebagai Peristiwa
G-30-S.
Pemerintah Orde Baru di bawah
Jenderal Soeharto mengeluarkan versi resmi bahwa PKI-lah pelakunya, dan sebagai
pimpinan partai, Aidit dituduh sebagai dalang peristiwa ini. Tuduhan ini tidak
sempat terbukti, karena Aidit meninggal dalam pengejaran oleh militer ketika ia
melarikan diri ke Yogyakarta dan dibunuh di sana oleh militer.
Kematian dan
Kontroversi
Ada beberapa versi tentang kematian
DN Aidit ini. Menurut versi pertama, Aidit tertangkap di Jawa Tengah, lalu
dibawa oleh sebuah batalyon Kostrad ke Boyolali. Kemudian ia dibawa ke dekat
sebuah sumur dan disuruh berdiri di situ. Kepadanya diberikan waktu setengah
jam sebelum "diberesi". Waktu setengah jam itu digunakan Aidit untuk
membuat pidato yang berapi-api. Hal ini membangkitkan kemarahan semua tentara
yang mendengarnya, sehingga mereka tidak dapat mengendalikan emosi mereka.
Akibatnya, mereka kemudian menembaknya hingga mati. versi yang lain mengatakan
bahwa ia diledakkan bersama-sama dengan rumah tempat ia ditahan. Betapapun juga,
sampai sekarang tidak diketahui di mana jenazahnya dimakamkan.
Selain kematiannya, kelahiran Aidit
pun bermacam-macam versi. Beberapa mengatakan Aidit kelahiran Medan, 30 Juli
1923 dengan nama lengkap Dja'far Nawi Aidit. Keluarga Aidit konon berasal dari
Maninjau, Sumatera Barat yang pergi merantau ke Belitung.[1] Namun banyak
masyarakat Maninjau tidak pernah mengetahui dan mengakui hal itu
DAFTAR PUSTAKA
Tempo,2010,Aidit Dua Wajah Dipa Nusantara,Jakarta, PT
Gramedia
http://id.wikipedia.org/wiki/D._N._Aidit
Tidak ada komentar:
Posting Komentar